Oleh : Ustadz Robi Pamungkas حفظه الله
Orang yang berhadas, baik hadas kecil ataupun besar haram melakukan beberapa ibadah. Hadas adalah sesuatu yang dianggap ada dalam badan yang mencegah sahnya shalat dan yang tidak ada keringanan padanya [1].
Hadas dibagi menjadi dua;
1.) Hadas Kecil, yaitu hadas yang mewajibkan wudhu
2.) Hadas Besar, yaitu hadas yang mengharuskan mandi [2]
Di antara ibadah yang diharamkan bagi orang yang berhadas adalah seperti membaca al-Qur’an, menyentuhnya dan membawanya. Dalam tulisan kali ini, penulis akan membatasi pembahasan dalam masalah wanita haid membaca al-Qur’an, menyentuh dan membawanya saja.
Bolehkah Wanita Haid Membaca al-Qur’an ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah bolehkah wanita haid membaca al-Qur’an. Jumhur ulama, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah mengharamkan wanita haid membaca al-Qur’an berdasarkan hadis;
لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Wanita haid dan orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an” [3]
Hadis ini dihukumi oleh ulama sebagai hadis dhaif, karena ada rawi bernama Ismail bin ‘Ayyash. Ulama mentsiqahkan Ismail bin ‘Ayyash jika meriwayatkan dari penduduk Syam, tetapi apabila meriwayatkan dari penduduk Hijaz, maka ulama mendhaifkan riwayatnya. Dalam riwayat ini Ismail bin ‘Ayyash meriwayatkan dari Musa bin Uqbah yang berasal dari Madinah (Hijaz). Sedangkan hadis ini termasuk hadis tafarud (menyendiri), sebagaimana komentar Imam Tirmidzi dalam Jami’nya;
حديث ابن عمر حديث لا نعرفه إلا من حديث إسمعيل بن عياش عن موسى بن عقبة عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم
“Hadis Ibnu Umar adalah hadis yang kami tidak mengetahui (jalurnya) kecuali dari hadis Ismail bin ‘Ayyash dari Musa bin Uqbah dari Nafi; dari Ibnu Umar dari Rasulullah ﷺ”
Imam al-Baihaqi berkata dalam Ma’rifat as-Sunan wa al-Atsar; hadis ini meneyendiri dari Ismail bin ‘Ayyas, dan riwayatnya dari penduduk Hijaz lemah tidak bisa dijadikan hujjah. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan selainnya dari kalangan ahli huffadz. Ia juga meriwayatkan dari lainnya tetapi juga dhaif [4].
Hanya saja walaupun hadis ini dhaif, tetapi banyak riwayat hadis lain yang semakna dengan hadis ini, sehingga status hadis ini naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Sebagaimana pernyataannya Imam al-Mubarakfury dalam kitabnya;
قد وردت أحاديث في تحريم قراءة القرآن للجنب ، وفي كلها مقال ، لكن تحصل القوة بانضمام بعضها إلى بعض ومجموعها يصلح لأن يتمسك بها
“Telah ada bebearpa hadis yang menjelaskan keharaman membaca al-Qur’an bagi junub, dan semua hadisnya ada catatan. Tetapi dengan disatukannya satu hadis dengan lainnya bisa menjadikan hadisnya kuat dan secara keseluruhan bisa digunakan untuk dijadikan pegangan” [5]
Diantara hadis yang mendukung makna hadis diatas adalah riwayat dari sahabat Ali bin Abi Thalib – كرم الله وجهه – ;
من طريق شُعْبَة عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ قَالَ : أَتَيْتُ عَلِيًّا أَنَا وَرَجُلَانِ ، فَقَالَ : (كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ الْخَلَاءِ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ ، وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ ، وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ عَنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ )
“Dari Abdullah bin Salimah ia berkata; aku dan dua orang lelaki datang kepada Ali. Lalu Ali berkata ; “Rasulullah ﷺ sering setelah keluar dari wc lalu membaca al-Qur’an, kemudian makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau dari membaca al-Qur’an kecuali karena junub” [6]
Hadis ini diperselisihkan oleh para ulama keshahihannya. Sebagian ulama menghukumi hadis ini hasan, seperti Imam Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah [7]. Sebagian lagi menghukumi hadis ini dhaif seperti Imam Syafi’i dan al-Baihaqi [8]. Perbedaan muncul disebabkan adanya rawi bernama Abdullah bin Salimah. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Taqrib at-Tahdzib mengomentari beliau sebagai orang yang shaduq tetapi hafalannya telah berubah (shaduqun taghayyara hifdzuhuz) [9]. Imam Syafi’i mengatakan; ulama tidak menetapkan (mengambil) hadisnya, Imam Baihaqi juga berkata; karena pusat sanadnya adalah Abudllah bin Salimah, dan ia sudah tua serta hadis dan kecermatannya diingkari (ditolak). Sedangkan riwayat hadis ini, diriwayatkan setelah masa tuanya sebagaimana yang dikatakan Syu’bah [10].
Secara teori jarh wa ta’dil rawi bernama Abdullah bin Salimah ini secara umum tsiqah, hanya saja riwayat dia setelah tua ditolak, karena hafalan dan kecermatannya sudah melemah, sehingga banyak salah dalam periwayatan hadisnya. Ini dalam teori jarh wa ta’dil disebut sebagai al-jarh al-mufassar (kritik yang disertai penjelasan), dan al-jarh al-mufassar lebih didahulukan dari ta’dil (pujian/rekomendasi). Namun bukan berarti hadis ini dhaif, karena adanya hadis-hadsi lain yang semakna yang menguatkan hadis ini. Oleh karenanya Imam Ibnu Hajar berkata; “Dan yang benar, hadis ini termasuk hadis hasan dan bisa digunakan untuk dijadikan hujjah” [11].
Adapun di antara ulama yang membolehkan wanita haid membaca al-Qur’an adalah Imam Bukhari, Imam Dawud adz-Dzahiri, dan Imam Malik. Secara umum alasan mereka membolehkan wanita haid membaca al-Qur’an karena dua alasan;
1.) Dalil-dalil yang digunakan untuk mengharamkan membaca al-Qur’an bagi wanita haid adalah dalil-dalil yang lemah.
Jikapun shahih, makna hadisnya muhtamal (banyak kemungkinan). Imam Bukhari dalam shahihnya membuat judul bab yang menunjukan beliau berpendapat bolehnya orang junub dan wanita haid membaca al-Qur’an. Judul babnya باب تقضي الحائض المناسك كلها إلا الطواف بالبيت (bab wanita haid melakukan semua aktivitas manasik kecuali thawaf) . Juga berdasarkan keumuman hadis bahwa Rasullah ﷺ senantiasa berzikir kepada Allah disetiap waktu [12].
2.) Sebagian ulama mengatakan hadis sahabat Ali – كرم الله وجهه – tidak mengharuskan sesuatu apapun, karena hal tersebut hanya prasangkan perawi saja.
Dari mana seseorang tahu bahwa Rasulullah ﷺ meninggalkan membaca al-Qur’an karena sebab junub, kecuali jika Rasulullah ﷺ memberi tahunya? [13]. Sedangkan hadis sahabat Ali hanyalah hikayat perbuatan bukan perkataan Rasulullah ﷺ. Kaidah yang muqarar dalam ushul fiqh, perbuatan Nabi ﷺ tidak bisa masuk kedalam keumuman. Sebagaimana yang dikatakan Imam al Haramain dalam Waraqatnya;
والعموم من صِفَات النُّطْق وَلَا يجوز دَعْوَى الْعُمُوم فِي غَيره من الْفِعْل وَمَا يجْرِي مجْرَاه
“Umum termasuk sifat perkataan. Tidak boleh ada klaim umum diselain perkataan seperti perbuatan dan yang semisal perbuatan” [14]
Madzab Maliki juga berpendapat wanita haid boleh membaca al-Qur’an, sebagaimana dalam kitab al Mawsu’ah al-Fiqhiyah;
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ. وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ
“Madzhab Maliki berpandangan bahwa wanita haid boleh membaca al-Qur’an secara mutlak dalam keadaan darah masih mengalir. Baik karena junub atau bukan, khawatir lupa atau tidak. Adapun jika darahnya berhenti, maka tidak boleh baginya membaca al-Qur’an sampai ia mandi, baik karena junub atau bukan, kecuali jika khawatir lupa” [15]
Pendapat yang kuat – walllahu’alam – adalah pendapat jumhur yang berpendapat tidak boleh wanita haid membaca al-Qur’an, karena jelasnya dalil yang digunakan oleh jumhur. Hanya saja jika ada kesulitan bagi wanita haid jika tidak membaca al-Qur’an, seperti dalam rangka menghafal al-Qur’an, mempelajarinya, atau mengajarkannya. Lembaga Fatwa Mesir (Dar al-Ifta al-Mishriyah) berfatwa bolehnya wanita haid membaca al-Qur’an jika ada kesulitan dengan bertaqlid kepada madzhab Maliki;
فمن وجدت في ذلك مشقةً وحرجًا واحتاجت إلى قراءة القرآن أو مَسِّ المصحف للحفظ أو التعليم أو العمل في التدريس فيجوز لها حينئذٍ تقليد المالكية، ولا إثم عليها في ذلك ولا حرج.
“Barang siapa yang padanya ada kesulitan dan ia membutuhkan untuk membaca al-Qur’an atau menyentuh mushaf, baik untuk menghafal, belajar, atau untuk mengajar, maka boleh baginya bertaqlid kepada madzhab Maliki dan ia tidak berdosa” [16].
Bolehkah Wanita Haid Menyentuh Mushaf al-Qur’an ?
Empat madzhab sepakat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf, berdasarkan firman Allah ﷻ ;
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak-lah yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang-orang yang suci” (Surah al-Waqi’ah [56] : 79) [17]
Ayat diatas dikuatkan oleh surat Nabi ﷺ kepada ‘Amr bin Hazim kepada penduduk Yaman:
لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang suci” [18]
Juga riwayat dari Abdullah bin Umar ;
قَال النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang suci” [19]
Ulama yang berbeda dengan jumhur adalah Madzhab Dzahiri, mereka tidak menajdikan suci sebagai syarat untuk membaca al-Qur’an [20].
Sebab perbedaan ulama karena berbeda dalam memahami ayat diatas. Ulama yang mengatakan boleh menyentuh al-Qur’an tanpa bersuci memahami ayat diatas makna al-Muthahirun adalah malaikat dan ayat di atas datang dengan bentuk informasi bukan perintah. Maka ayat di atas sama sekali tidak bisa dijadikan dalil harusnya bersuci untuk menyentuh mushaf [21].
Pendapat yang kuat – waallahu’alam – adalah pandangan jumhur empat madzhab. Karena ayat diatas dijelaskan oleh dalil-dalil hadis.
Catatan:
Mushaf adalah segala sesuatu yang ditulis di atasnya al-Qur’an walaupun hanya sebagian ayat dengan tujuan tilawah [22]. Dari definisi di atas, mushaf yang ada pada smartphone termasuk juga mushaf, sehingga tidak boleh disentuh kecuali bagi yang sudah bersuci.
Dikecualikan dari mushaf adalah al-Qur’an terjemah atau kitab tafsir, jika huruf terjemah atau tafsir lebih banyak dari al-Qur’an , tetapi jika setara atau lebih banyak al-Qur’an maka haram [23].
Waallahu a’lam
[1] Hasan al Kaf, at Taqrirat as Sadidah, hal.172
[2] Ibid, hal. 172
[3] HR: Tirmidzi. Al Mawsu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 18/321
[4] Al Mubarakfury, Tuhfat al Ahwadzi, 1/388
[5] Ibid, hal. 387
[6] HR: Abu Dawud. No.229
[7] Diakses dari; https://islamqa.info/ar/answers/
218917/%D9%87%D9%84-
%D9%8A%D8%AC%D9%88%D8%B2-
%D9%84%D9%84%D8%AC
%D9%86%D8%A8-
%D8%A7%D9%86-
%D9%8A%D9%82%D8%B1%D8%A7-
%D8%A7%D9%84%D9%82
%D8%B1%D8%A7%D9%86-%D8%AF%D9%88%D9%86-%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D9%85
%D8%B5%D8%AD%D9%81 tanggal 13/06/2020 jam 7:12
[8] Al Mubarakfury, Tuhfat al Ahwadzi, 1/388
[9] Al ‘Asqalani, Taqrib at Tahdzib, hal.248
[10] Al Mubarakfury, Tuhfat al Ahwadzi, 1/388
[11] Ibid, 1/388
[12] HR; Muslim
[13] Ibnu Ruysd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayatu al Muqtashid, hal. 54
[14] Al Haramain, al Waraqat, hal 127
[15] al Mawsu’ah al fiqhiyah al Kuwaitiyah, 18/322
[16] Diakses dari; https://www.dar-alifta.org/ar/ViewFatwa.aspx?sec=fatwa&ID=12343 tanggal 13/06/2020 jam 9;11
[17] al Mawsu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 18/322 (اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ مَسُّ الْمُصْحَفِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ )
[18] HR; ad Darimi dan ad Daruquthni. Hadis ini dishahihkan oleh Ishaq bin Rahwaih sebagaimana yang dinukiloleh al Mundzir dalam al Awsath (2/102)
[19] Ibnu Hajar berkata dalam at Talkhis; isnadnya tidak mengapa (1/133)
[20] Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, hal. 45
[21] Ibid, hal. 46
[22] Hasan al Kaf, at Taqrirat as Sadidah, hal. 173
[23] Ibid, hal, 174